Senin, 23 Februari 2009

Menggali Asa di Kolong Jembatan Jatinegara


Senja berangsut-angsut pergi, berganti dengan malam. Beberapa deret toko di pingiran rel kereta api dekat stasiun Jatinegara pun sudah tutup semua. Hanya bising sirine di pintu perlintasan kereta api yang jadi teman berjalan kaki. Tak jauh dari pintu perlintasan, di kolong Jembatan sebuah berukuran lima kali tiga di sulap jadi panggung. Beberapa orang sedang mempersiapkan alat musik dan sound system menang kenceng doang. Di depan panggung, terpampang spanduk bertuliskan Marga Saluyu. Empat orang penari jaipong sudah selesai berdandan dan siap menghibur siapapun yang datang.

Jaipong kolong jembatan
Rata Penuh
Bila mendengar kata Jaipong, sudah pasti yang terlintas adalah tarian erotis dan mengundang syahwat lelaki. Dan belum lama ini tarian jaipong jadi kontroversi gara-gara statement yang di lontarkan Gubernur Jabar yang menghimbau agar jaipongan mengurangi goyangannya dan berpakaian menutup ketiak. Tapi buat orang-orang yang menggeluti kesenian ini, goyangan yang terdapat dalam tarian ini adalah ekspresi dan terserah persepsi orang menyimpulkan seperti apa tarian ini.

Selesai menyiapkan alat musik dan sound system sinden dari kelompok Marga Saluyu mulai bernyanyi dan mengundang siapa saja orang yang lewat untuk mampir. Ketika sudah ada beberapa orang yang kumpul, si penari memulai tariannya. Pertunjukan di kolong jembatan jatinegara sudah lama berlangsung, dan tak ada satupun dari anggota Marga saluyu yang tahu kapan pastinya kelompok mulai pentas disana. "Yang jelas saat saya gabung di tahun 80 - an, orang-orang yang merintis sudah tidak bermain lagi." ungkap Teh Kokom, salah satu pesinden dari Marga Saluyu.

Kelompok marga saluyu berangotakan dua belas orang, terdiri dari delapan pesinden yang sekaligus penari dan empat orang pemain musik. Mayoritas pesinden berasal dari Karawang, daerah yang memang terkenal dengan Jaipongan. Bersama-sama mereka mengontrak rumah dan urunan membayar biaya sewa kios sebesar 2 juta per tahun, berikut biaya listrik yang juga harus mereka tanggung.
Jika beruntung dalam satu malam mereka bisa meraup uang sampai delapan ratus ribu, dan hasil saweran itu di bagi rata.

Buat teh Kokom, profesi yang di jalaninya sama dengan profesi lainya. Walau banyak cibiran dan hujatan dan tiap hari berhadapan dengan banyak lelaki hidung belang yang kerap kali ramah (rajin menjamah) saat dia dan kawan-kawan lainnya menghibur. Sering kali teh kokom dan lainnya mendapat perlakukan tidak senonoh, seperti mencolek pantat, teh kokom menganggap itu adalah resiko pekerjaan. "Saya sudah punya suami yang juga pemain kendang di kelompok ini, Suami juga tidak marah asal tidak berlebihan," katanya. Teh Kokom dan lainya tetap menjalani hidup yang kian hari semakin sulit. Ironis memang, hidup diantara hujatan dan upaya mempertahankan kesenian tradisi. Inilah sepotong kehidupan di tengah gemerlapnya Ibukota, di benci sekaligus di cinta. (Foto dan Teks : Alfan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar